By Meilani Ristiana Limbong
Section C/2010
“I’m a part of God’s creatures and I don’t believe that world can works by themselves”
Kehidupan adalah sebuah proses yang berlangsung dengan sebuah maksud dan tujuan. Tanpa adanya tujuan manusia bagaikan sebuah boneka yang dapat dengan mudah tertiup angin. Tujuan setiap manusia bukan hanya untuk bernafas, beranak dan memenuhi bumi akan tetapi lebih dalam dapat gambarkan seperti sebuah lukisan sang masterpiece. Dan Ia adalah Tuhan, sang pencipta yang tahu apa dan mengapa manusia ada di dunia. Aku percaya Tuhan dengan segenap hati dan pikiranku meski terkadang bermacam-macam pertanyaan menghantui dan menawarkan seonggok fakta yang membingungkan. Mengapa aku percaya Tuhan? Jawaban saya hanya satu karena Tuhan terlebih dahulu baik terhadap saya. Apakah takaran kebaikan Tuhan itu? Seluruh rangkaian peristiwa yang saya alami dalam hidup ini. Saya mampu bernafas dengan oksigen yang tersedia bahkan Tuhan itu baik saat saya harus kehilangan sesuatu dalam kehidupanku. Mungkin sebagian ahli antropolog menangkis suatu hal yang tak berbukti nyata nemun begitulah kepercayaan, keyakinan dalam hati atas sesuatu yang terkadang tak berpijak pada bumi.
Dalam kehidupan ke-Tuhanan saya memiliki apa yang sering disebut iman, sesuatu yang saya yakini dan percaya akan terjadi bahkan saat hal itu belum ada di depan mata. Kepercayaan saya pada Tuhan Yesus sebagai Tuhan adalah wujud iman saya. Saya tidak berkata bahwa Tuhan orang lain itu salah atau hanya saya yang layak memiliki Tuhan. Iman saya pada Yesus di sini adalah sebagai wujud penyembahan saya pada Tuhan. Setiap orang berhak menafsirkan Tuhan dalam persepsinya masing-masing. Ada yang menyebutnya Tuhan sebagai Allah, Tao, Brahma dan Dewa. Setiap individu memiliki kehendak bebas untuk menyembah Tuhannya masing-masing dengan cara yang beragam.
Hidup di dalam Tuhan bukanlah menjadi jaminan untuk hidup tanpa masalah. Rabia (dalam saras, 2010) mengatakan bahwa kedekatan dengan Tuhan adalah suatu kesengsaraan. Di sini beliau mengatakan bahwa sudah menjadi sebuah konsekuensi dalam mencintai Tuhan untuk menerima kesengsaraan yang Ia ijinkan terjadi. Dalam perjalanan kehidupan tentu tidak mudah untuk senantiasa percya bahwa Tuhan itu ada. Selalu ada alasan untuk marah, benci, terluka dan kecewa bila hanya melihat dari kesengsaraan yang Ia berikan. Akan tetapi alangkah egoisnya saya yang tertawa bahagia bila kebahagian dating dan menganggap hal itu dating dengan sendirinya. Mungkin bisa dikatakan ada kemiripan antara saya dan Ibnu Rabia dalam melihat Tuhan sebagai sosok yang nyata melalui hal-hal yang Ia lakukan dalam hidup saya. Saya tidak pernah menyesal mengenal Tuhan melalui tata cara ibadah yang saya yakini, karena dari situlah saya mengenal siapa Tuhan dalam kehidupan saya.
Dewasa ini beberapa antropolog memiliki persepsi yang menurut saya melenceng jauh dari kepercayaan. Salah satunya teori yang diungkapkan oleh Emile Durkheim mengenai agama hanyalah sebuah kesepakatan kelompok dimana diturunkan dari nenek moyang untuk menjaga kaharmonisan dan keselarasan dalam komunitas. Contoh lain adalah Sigmun Freud seorang dokter kejiwaan yang menyimpulkan agama sebagai suatu cara manusia untuk mendapatkan pemenuhan harapan yang menentramkan jiwanya. Masih banyak lagi antropolog yang notabene “membenci” agama dan berusaha mengungkap makna yang terkandung dalam agama. Menurut hemat saya orang – orang seperti ini perwakilan dari orang-orang yang mengalami kekecewaan di dalam Tuhan, mereka memilih untuk menjauh bahkan memisahkan diri disaat kesengsaraan diizinkan terjadi dalam kehidupan mereka.
Mengenal dan percaya Tuhan adalah sebuah pilihan bahkan kesediaan untuk menyembah Dia adalah sebuah komitmen dan bukan hanya rasa cinta mula-mula semata. Komitmen tidak akan mudah tersapu oleh intrik-intrik dunia, tidak akan mudah kecewa di saat tiada harapan. Komitmen adalah sebuah kesediaan untuk terus melihat jauh kedepan dengan harapan yang besar. Komitmen dalam menyembah Tuhan adalah wujud iman terbesar bagi saya. Bagi saya bukan seberapa banyak kebaikan yang sudah engkau lakukan, namun yang terpenting adalah seberapa besar engkau mengucapsyukur dan menerima badai yang Ia izinkan terjadi dalam hidup manusia. Kecewa itu penting karena kita bukanlah mahluk sempurna, namun bukan kekecewan yang seharusnya ditonjolkan sehingga menagkis segala ke-imanan kita. Kekecewaan terhadap manusia bahkan dunia seharusnya menjadi sebuah dorongan kuat untuk senantiasa melihat Tuhan sebagi sosok yang sempurna, yang tahu maksud dan tujuan hidup manusia di dalam dunia ini.
Resources :
Dewi, Saras. 2011. Kesengsaraan Demi Tuhan
image resource : www.google.com